Rabu, 12 Mei 2010

Hukum Memandang Lawan Jenis

Laki-Laki Memandang Perempuan

Dalam Al-Qur'an di sebutkan: "... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak daripadanya... " (an-Nur: 31 )

Menurut jumhur ulama, perhiasan yang biasa tampak itu ialah "wajah dan telapak tangan." Dengan demikian wanita boleh menampakkan wajahnya dan kedua telapak tangannya, bahkan (menurut pendapat Abu Hanifah dan al-Muzni) kedua kakinya.

Apabila wanita boleh menampakkan bagian tubuhnya ini (muka dan tangan/kakinya), maka bolehkah laki-laki melihat kepadanya ataukah tidak?

Pandangan pertama (secara tiba-tiba) adalah tidak dapat di hindari sehingga dapat dihukumi sebagai darurat. Adapun pandangan berikutnya (kedua) diperselisihkan hukumnya oleh para ulama.

Yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi ialah melihat dengan menikmati (taladzudz) dan bersyahwat, karena ini merupakan pintu bahaya dan penyulut api. Sebab itu ada ungkapan, "memandang merupakan pengantar perzinaan."

Adapun melihat perhiasan (bagian tubuh) yang tidak biasa tampak, seperti rambut, leher, punggung, betis, lengan (bahu),dan sebagainya adalah tidak diperbolehkan bagi selain mahram, menurut ijma. Ada dua kaidah yang menjadi acuan masalah ini beserta masalah-masalah yang berhubungan dengannya.

Pertama, bahwa sesuatu yang dilarang itu diperbolehkan ketika darurat atau ketika dalam kondisi membutuhkan, seperti kebutuhan berobat, melahirkan,dan sebagainya, pembuktian tindak pidana,dan lain-lainnya yang diperlukan dan menjadi keharusan, baik untuk perseorangan maupun masyarakat.

Kedua, bahwa apa yang diperbolehkan itu menjadi terlarang apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah, baik kekhawatiran itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan hal ini apabila terdapat petunjuk-petunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan dan khayalan sebagian orang-orang yang takut dan ragu-ragu terhadap setiap orang dan setiap persoalan.

Karena itu, Nabi saw. pernah memalingkan muka anak pamannya yang bernama al-Fadhl bin Abbas dari melihat wanita Khats'amiyah pada waktu haji, ketika beliau melihat al-Fadhl berlama-lama memandang wanita itu. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa al-Fadhl bertanya kepada Rasulullah saw., "Mengapa engkau palingkan muka anak pamanmu?" Beliau saw. menjawab, "Saya melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka saya tidak merasa aman akan gangguan setan terhadap mereka."

Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada hati nurani si muslim, yang wajib mendengar dan menerima fatwa, baik dari hati nuraninya sendiri maupun orang lain. Artinya, fitnah itu tidak dikhawatirkan terjadi jika hati dalam kondisi sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak syubhat (kesamaran),dan tidak menjadi sarang pikiran-pikiran yang menyimpang.

Wanita Memandang Laki-Laki
Di antara hal yang telah disepakati ialah bahwa melihat kepada aurat itu hukumnya haram, baik dengan syahwat maupun tidak, kecuali jika hal itu terjadi secara tiba-tiba, tanpa sengaja, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits sahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: "Saya bertanya kepada Nabi saw. Tentang memandang (aurat orang lain) secara tiba-tiba (tidak disengaja). Lalu beliau bersabda, “Palingkanlah pandanganmu.'" (HR. Muslim)

Lantas apakah aurat laki-laki itu? Bagian mana saja yang disebut aurat laki-laki?

Kemaluan adalah aurat mughalladhah (besar/berat) yang telah disepakati akan keharaman membukanya di hadapan orang lain dan haram pula melihatnya, kecuali dalam kondisi darurat seperti berobat dan sebagainya. Bahkan kalau aurat ini ditutup dengan pakaian tetapi tipis atau menampakkan bentuknya, maka ia juga terlarang menurut syara'.

Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa paha laki-laki termasuk aurat, dan aurat laki-laki ialah antara pusar dengan lutut. Dan bahwa aurat laki-laki itu haram dilihat, baik oleh perempuan maupun sesama laki-laki. Ini merupakan masalah yang sangat jelas.

Dan adapun terhadap bagian tubuh yang tidak termasuk aurat laki-laki, seperti wajah, rambut, lengan, bahu, betis, dan sebagainya. Menurut pendapat yang sahih boleh dilihat, selama tidak disertai syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha umat,dan ini diperlihatkan oleh praktik kaum muslim sejak zaman Nabi dan generasi sesudahnya, juga diperkuat oleh beberapa hadits sharih (jelas) dan tidak bisa dicela.

Jadi, memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak dibarengi dengan upaya "menikmati" dan bersyahwat. Jika dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya haram. Karena itu, Allah menyuruh kaum mukminah menundukkan sebagian pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan sebagian pandangannya. Firman Allah:

"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pendangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.'" (an-Nur: 30-31 )

Bahwa wanita dapat membangkitkan syahwat laki-laki lebih banyak daripada laki-laki membangkitkan syahwat wanita, dan memang benar bahwa wanita lebih banyak menarik laki-laki, serta wanitalah yang biasanya dicari laki-laki. Namun, semua ini tidak menutup kemungkinan bahwa di antara laki-laki ada yang menarik pandangan dan hati wanita karena kegagahan, ketampanan, keperkasaan, dan kelelakiannya, atau karena faktor-faktor lain yang menarik pandangan dan hati perempuan.

Al-Qur'an telah menceritakan kepada kita kisah istri pembesar Mesir dengan pemuda pembantunya,Yusuf, yang telah menjadikannya dimabuk cinta. Lihatlah, bagaimana wanita itu mengejar-ngejar Yusuf, dan bukan sebaliknya, serta bagaimana dia menggoda Yusuf untuk menundukkannya seraya berkata, "Marilah ke sini." Yusuf berkata, "Aku berlindung kepada Allah." (An-Nur: 23)

Al-Qur'an juga menceritakan kepada kita sikap wanita-wanita kota ketika pertama kali mereka melihat ketampanan dan keelokan serta keperkasaan Yusuf. Apabila seorang wanita melihat laki-laki lantas timbul hasrat kewanitaannya, hendaklah ia menundukkan pandangannya. Janganlah ia terus memandangnya, demi menjauhi timbulnya fitnah, dan bahaya itu akan bertambah besar lagi bila si laki-laki juga memandangnya dengan rasa cinta dan syahwat. Pandangan seperti inilah yang dinamakan dengan "pengantar zina" dan yang disifati sebagai "panah iblis yang beracun," dan ini pula yang dikatakan oleh penyair: "Semua peristiwa (perzinaan) itu bermula dari memandang. Dan api yang besar itu berasal dari percikan api yang kecil."

0 komentar: