Minggu, 03 Oktober 2010

Akhwat menyatakan cinta ??

Diskusi siang itu bisa dibilang cukup menarik. Setelah selesai menunaikan sholat dhuhur, sejenak kusandarkan tubuhku di tiang masjid Al Itqon sembari bercengkrama bersama para aktivis kampus. Hadir dalam forum halaqoh itu ketua DPM, mantan ketua DPM, satu anak dari KAMMI dan aku sendiri.

Awalnya, kami berempat membicarakan seputar pacaran terselubung di dalam tubuh jama’ah (yang jelas bukan jama’ah sholat dhuhur atau jama’ah tabligh ^_^). Tren yang ada sekarang, kata mereka, adalah fenomena angkat-mengangkat adik-kakak antar anggota ikhwan dan akhwat.

"Wuih, asyik dong," selorohku.

Lalu aku berusaha menjelaskan kepada mereka tentang fenomena ini. Kukatakan kepada mereka bahwa bukankah sebenarnya kita ini memang sudah sebagai saudara? Bukankah Allah telah berfirman, innamal mukminuuna ikhwah (sesungguhnya antar orang Islam itu bersaudara). Jadi, memang sudah seharusnya kita memposisikan sesama muslim itu sebagai saudara kita meskipun kita tidak mengatakan bahwa you itu kakakku or gue itu adikmu.

Pertanyaannya adalah, ngapain juga mereka melakukan upacara angkat-mengangkat kakak-adik segala? Apakah ketika setelah dilakukan deklarasi kakak-adik itu lantas aturan-aturan main dalam pergaulan dengan non-mahram kemudian bisa ditanggalkan atau bisa lebih dicairkan? Yang dulunya non-mahram bakal menjadi mahram, gitu? Mana bisa brur!

Aku yakin deklarasi itu juga berawal dari intensitas pertemuan antar mereka (ikhwan-akhwat yang saling mengangkat saudara itu) yang cukup tinggi, sehingga mereka sudah melewati proses ta’aruf, tafahum, takaful,… akhirnya tahabbub dan mungkin juga tasyabbuh, he-he. Yah, intinya tetap waspada dengan adanya udang dibalik tahu, eh batu ^_^.

Bisa jadi ini adalah nama dan bentuk baru dari HTSan. Ciri-cirinya juga cenderung sama. Mereka cenderung nggak peduli alias cuek bebek dengan kontrol sosial (kontrol jama’ah) dan justru dengan bangganya berkata, "I don’t care." (He-he, SBY banget neh… Maklum, pendukungnya… ^_^).

Yah, yang pasti aku berada dalam posisi kontra dengan deklarasi-deklarasi semacam itu. Aku dulu neh, ketika masih di Bening, biasa juga koq menyapa dengan sebutan-sebutan Dek Ani, Dek Widya, Dek Holy, Mbak Ida… datar-datar saja, biasa-biasa saja. Nggak perlu pake deklarasi kakak-adik segala, nggak perlu special relationship. Yang lebih tua kuanggap sebagai kakak atau embak, yang lebih muda kuanggap sebagai adik. Selesai, finish. Hak non-mahram tetep berjalan, ukhuwah bisa tereratkan.

Selanjutnya, diskusi kami lanjutkan dengan tema yang lebih hot. Mamat, Sang Ketua DPM, memaparkan fakta akan banyaknya akhwat lanjut usia (30an tahun keatas maksudnya ^_^) yang galau dan cemas lantaran statusnya yang masih virgin. Ia menjelaskan bahwa fenomena ini sebenarnya bukan mutlak salah para ikhwan yang nggak care dengan akhwat-akhwat tersebut. Akan tetapi pihak akhwat seharusnya juga harus bisa lebih proaktif dalam menjemput jodohnya. Jika memang sudah ada ikhwan yang dipandang mampu dan memenuhi kriteria, maka tidak ada salahnya jika para akhwat tersebut menawarkan diri kepada ikhwan tersebut.

Hmm… aku sih sepakat-sepakat saja. Memang benar apa yang dikatakan Mamat tadi. Budaya lokal yang cenderung patrimonial tampaknya telah membelengu budaya syari’at untuk diterapkan. Syari’at menempatkan ekualitas gender dengan begitu anggunnya. Islam mampu menangkap sinyal-sinyal kegalauan semacam ini sehingga lahirlah aturan-aturan syari’at yang mengoreksi kealpaan aturan-aturan budaya lokal yang cenderung tidak sesuai dengan fitroh manusia.

Dalam aturan Islam, tidak ada salahnya ketika seorang akhwat menawarkan diri kepada seorang ikhwan yang dipandang telah mampu atau memiliki kriteria-kriteria yang diinginkan. Lembaran sejarah Islam telah mengkisahkan seorang Ummul Mukminin, Khadijah ra., yang berinisiatif untuk menawarkan dirinya kepada manusia termulia di dunia, Muhammad SAW. Bayangkan jika Khadijah waktu itu mengikuti budaya arab jahili yang sangat patrimonial (bahkan cenderung menghinakan wanita) dan bayangkan pula jika ia bersikap malu-malu mau ^_^ sehingga tidak berani untuk "nembung" ke baginda Rasul, sang manusia utama. Maka, niscaya pernikahan tidak akan terjadi dan kesempatan emas pun terlewati. Dan jika hal itu terjadi waktu itu, maka aku mo bilang ke bunda Khadijah, "Kaciaaan dech lo…" ^_^

Kisah penawaran diri wanita ini bukanlah barang langka dalam sejarah Islam. Setelah Khadijah mangkat, Rasulullah SAW. tercatat pernah menerima tawaran seorang sahabiyyah. Ketika itu datang seorang wanita yang berkata kepada rasul, "Ya Rasululah, aku datang untuk menyerahkan diriku kepadamu". Lantas Rasulullah melihat wanita itu keatas dan kebawah, setelah itu beliau diam. Tampaknya sang wanita paham akan isyarat Rasul tadi sehingga iapun tertunduk. Yes my sister, Rasul menolak "tembakan" yang datang dari akhwat tadi. Nah, kalo’ kamu-kamu pengin tahu kisah selengkapnya, silakan baca bukunya Fauzil Adhim yang judulnya "Saatnya Menikah", terbitan Pro-U Jogja.

Intinya, nggak ada salahnya koq jika "tembakan" itu datangnya dari pihak akhwat. Tidak ada istilah cewek norak, agresif, nggak punya harga diri atau ‘iffah dalam hal ini. Yang norak itu justru kalo’ ada akhwat yang sudah siap nikah terus nggak ngelakuin apa-apa buat cari ikhwan yang sholih. Emang sih jodoh itu ditangan tuhan, tapi jika nggak kamu minta ya nggak bakal dikasih juga. Ingat, Allah bilang, "ana ‘inda dzonni ‘abdi" (Aku sesuai dengan persangkaan (keinginan) hambaku). Allah juga berfirman, "innallaha la yughoyyiru ma biqoumin hatta yughoyyiru ma bi anfusihim" (Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka berusaha mengubah keadaan mereka).

Dalam masalah menjaga harga diri atau ‘iffah dikalangan para akhwat, juga terdengar kabar bahwa kalo’ akhwat menikah itu hendaknya dengan ikhwan yang belum dikenal sebelumnya. Supaya lebih suci katanya. He-eh, aku bilang, "Mbak… mbak, nggak usah ideal-ideal banget lah. Nggak usah berlindung dibalik kesucian diri atau justru sok suci diri dech, Utsman bin ‘Affan saja menikah dengan Ruqayyah yang sudah dikenal akrab sejak masa kecilnya, demikian pula kisah cinta Rasulullah dengan ‘Aisyah. Bukankah ini justru akan lebih melanggengkan rasa cinta diantara mereka? Bagiku, menikah dengan rasa cinta tentu akan lebih bermakna. Ya minimal khan nggak usah nadhor lagi…" ^_^


Teman, diskusi singkat tadi dengan nyata telah menyentuh titik sadarku bahwa ternyata banyak diantara para akhwat yang sok suci, sok tahu syari’at dan mempersulit diri dalam proses pernikahan sehingga berakibat fatal bagi masa depannya. Jadi, bagi para akhwat yang sudah siap tuk married, maka jangan ragu lagi… katakan cinta…