Jumat, 18 Juni 2010

Apakah Kesialan Itu Ada dalam Pandangan Islam ??

“Tidak ada penularan, tidak ada Thiyaroh, tidak ada Hammah dan tidak ada Shafar”. (HSR. Bukhary-Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Secara bahasa, kata thiyaroh (kesialan/pamali) adalah isim mashdar dari kata tathoyyur yang mana asal katanya adalah tho` irunyang berarti burung. Hal ini karena dulu, orang-orang Arab jahiliyah ketika mereka hendak mengadakan suatu perjalanan maka mereka terlebih dahulu melempar seekor burung ke udara, jika burungnya terbang ke kanan maka mereka melanjutkan rencana keberangkatan mereka karena itu adalah pertanda baik dan jika burungnya terbang ke kiri maka mereka membatalkan perjalanan tersebut karena itu adalah pertanda jelek.

Adapun secara istilah thiyaroh adalah menjadikan/menyandarkan kesialan kepada sesuatu yang dilihat atau yang didengar atau yang diketahui. Contoh sesuatu yang dilihat, bila akan bepergian atau melakukan kegiatan lainnya lalu memperhatikan ke arah mana burung terbang, bila ke kanan maka berangkat, bila ke kiri maka tidak, atau tiba-tiba melihat kecelakaan di luar rumahnya maka ia urungkan niatnya untuk berangkat, atau orang yang berangkat ini tanpa sengaja menjatuhkan piring, gelas atau hal lainnya di dalam rumahnya lantas ia tidak jadi berangkat. Contoh sesuatu yang didengar, bila ia mendengar suara burung hantu atau burung gagak yang hinggap di atas rumahnya, maka ia mengurungkan maksudnya untuk berangkat atau melakukan kegiatan lainnya, atau tiba-tiba orang itu mendengar seseorang berkata kotor atau hal yang mengandung kesialan kepada orang lain atau kepada dirinya sendiri : hai celaka!, hai sial! dan lain-lain, lantas ia mengurungkan maksudnya. Contoh sesuatu yang diketahui misalnya menganggap kesialan dengan waktu, hari, bulan, dan sebagian tahun, misalnya menganggap atau menjadikan kesialan pada malam Jum’at atau hari Jum’at, terlebih pada Jum’at Kliwon atau menganggap angka 13 sebagai kesialan, atau tidak melakukan kegiatan besar pada sebagian bulan-bulan dalam penanggalan Hijriah, misalnya tidak melangsungkan pernikahan atau kegiatan lain pada bulan Syawwal, atau bulan Shafar atau bulan lainnya.

Dan hukum thiyaroh dengan semua bentuk di atas dan selainnya adalah syirik ashgor (kecil) bahkan bisa mencapai taraf syirik akbar (besar) jika dia sudah berkeyakinan bahwa hari itulah atau kejadian yang dia lihat itulah yang sebenarnya mendatangkan mudharat dengan sendirinya keluar dari pengaturan Allah ‘Azza wa Jalla. Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda dalam hadits Ibnu Mas’ ud radhiallahu ‘anhu:


“Thiyaroh adalah kesyirikan, thiyaroh adalah kesyirikan”. (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzy dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 429)

Bahkan thiyaroh ini adalah salah satu sifat dari orang-orang musyrik terdahulu, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan tentang Fir’aun dan para pengikutnya :


“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Ini adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS. Al-A’raf : 131)

Dan juga firman Allah Ta’ala :


“Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami”. Utusan-utusan itu berkata: “Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu mengancam kami)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas””. (QS. Yasin : 18-19)

Dan dengan bertathoyyur atau mempercayai adanya, maka seorang akan keluar dari 70.000 orang yang masuk Surga tanpa hisab dan tanpa adzab, yang Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam –dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma- telah mengabarkan tentang sifat mereka :


“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay (4), tidak bertathayyur dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal” . (HSR. Bukhary-Muslim).

Oleh karena itu, perbuatan tathoyyur ini bisa menafikan tauhid atau mengurangi kesempurnaan tauhid yang wajib, hal ini bisa ditinjau dari dua sisi:

* Bahwa tathayyur ini memutuskan ketawakkalannya kepada Allah dan bersandar kepada selainNya, yang mana hal itu tidak bisa memberikan manfaat dan mendatangkan mudharat.
* Bahwa tathayyur ini menjadikan ketergantungan hati kepada suatu perkara yang tidak ada hakekatnya sama sekali, bahkan ini adalah persangkaan belaka dan takhayul.

Dan tidak diragukan bahwa kedua hal di atas mencacati nilai-nilai tauhid, karena tauhid adalah ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :


“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”. (QS. Al-Fatihah : 4)

Dan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda :


“Jika engkau meminta pertolongan, minta tolonglah hanya kepada Allah”. (HR. At-Tirmidzy dari shahabat ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma).

Maka yang sepantasnya bagi seorang muslim adalah hendaknya dia berpaling dari thiyarah ini dan melanjutkan atau mengerjakan setiap amalan yang hendak dia kerjakan dengan penuh ketenangan, tanpa menyusahkan dirinya dengan perkara-perkara seperti ini, bahkan wajib atasnya untuk menjauhi buruk sangka kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan jangan merasa lemah dalam mengerjakan suatu amalan. Dan sebaliknya dia wajib untuk bersandar dan bertawakkal hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, pasrah kepadaNya, percaya bahwa semua perkara berada di tanganNya dan di atur olehNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Yunus : 107)



“Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal”. (QS. At-Taubah : 51)

7 Ciri Kebahagiaan Dunia

Ibnu Abbas ra. adalah salah seorang sahabat Nabi Shalallahu Alaihi Wa sallam yang sangat telaten dalam menjaga dan melayani Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa sallam , dimana ia pernah secara khusus didoakan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa sallam, selain itu pada usia 9 tahun Ibnu Abbas telah hafal Al-Quran dan telah menjadi imam di mesjid.

Suatu hari ia ditanya oleh para Tabi’in (generasi sesudah wafatnya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa sallam ) mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia. Jawab Ibnu Abbas ada 7 (tujuh) indikator kebahagiaan dunia, yaitu :

Pertama, Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur.
Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur sangatlah cerdas memahami sifat-sifat Allah Subhanahu Wa ta’ala, sehingga apapun yang diberikan Allah ia malah terpesona dengan pemberian dan keputusan Allah.Bila sedang kesulitan maka ia segera ingat sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa sallam yaitu :“Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita”. Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Bila ia tetap “bandel” dengan terus bersyukur maka Allah akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi.Maka berbahagialah orang yang pandai bersyukur!

Kedua. Al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh.
Pasangan hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh. Demikian pula seorang istri yang sholeh, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya. Maka berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki seorang istri yang sholeh.

Ketiga, al auladun abrar, yaitu anak yang soleh.
Saat Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa sallam lagi thawaf. RasulullahShalallahu Alaihi Wa sallam bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu : “Kenapa pundakmu itu ?” Jawab anak muda itu : “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya”. Lalu anak muda itu bertanya: ” Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua ?”Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: “Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu”. Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila memiliki anak yang sholeh.

Keempat, albiatu sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita.
Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh mengenal siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslah orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang sholeh. Orang-orang yang sholeh akan selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat salah.Orang-orang sholeh adalah orang-orang yang bahagia karena nikmat iman dan nikmat Islam yang selalu terpancar pada cahaya wajahnya. Insya Allah cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orang yang ada disekitarnya.Berbahagialah orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sholeh.

Kelima, al malul halal, atau harta yang halal.
Paradigma dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya. Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya.Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa sallam pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. “Kamu berdoa sudah bagus”, kata Nabi Shalallahu Alaihi Wa sallam , “Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan”. Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.

Keenam, Tafakuh fi dien, atau semangat untuk memahami agama.
Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam. Semakin ia belajar, maka semakin ia terangsang untuk belajar lebih jauh lagi ilmu mengenai sifat-sifat Allah dan ciptaan-Nya.Allah menjanjikan nikmat bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya.Semangat memahami agama akan meng “hidup” kan hatinya, hati yang “hidup” adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman. Maka berbahagialah orang yang penuh semangat memahami ilmu agama Islam.

Ketujuh, yaitu umur yang baroqah.

Umur yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak bernostalgia (berangan-angan) tentang masa mudanya, iapun cenderung kecewa dengan ketuaannya (post-power syndrome). Disamping itu pikirannya terfokus pada bagaimana caranya menikmati sisa hidupnya, maka iapun sibuk berangan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum ia sempat rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmati kenikmatan yang diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang Penciptanya. Hari tuanya diisi dengan bermesraan dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan berikutnya seperti yang dijanjikan Allah. Inilah semangat “hidup” orang-orang yang baroqah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang umurnya baroqah.

Demikianlah pesan-pesan dari Ibnu Abbas ra. mengenai 7 indikator kebahagiaan dunia.Bagaimana caranya agar kita dikaruniakan Allah ke tujuh buah indikator kebahagiaan dunia tersebut ? Selain usaha keras kita untuk memperbaiki diri, maka mohonlah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan sesering dan se-khusyu’mungkin membaca doa `sapu jagat’ , yaitu doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa sallam .

Dimana baris pertama doa tersebut “Rabbanaa aatina fid dun-yaa hasanaw” (yang artinya “Ya Allah karuniakanlah aku kebahagiaan dunia “), mempunyai makna bahwa kita sedang meminta kepada Allah ke tujuh indikator kebahagiaan dunia yang disebutkan Ibnu Abbas ra, yaitu hati yang selalu syukur, pasangan hidup yang soleh, anak yang soleh, teman-teman atau lingkungan yang soleh, harta yang halal, semangat untuk memahami ajaran agama, dan umur yang baroqah.Walaupun kita akui sulit mendapatkan ketujuh hal itu ada di dalam genggaman kita, setidak-tidaknya kalau kita mendapat sebagian saja sudah patut kita syukuri.

Sedangkan mengenai kelanjutan doa sapu jagat tersebut yaitu “wa fil aakhirati hasanaw” (yang artinya “dan juga kebahagiaan akhirat”), untuk memperolehnya hanyalah dengan rahmat Allah.Kebahagiaan akhirat itu bukan surga tetapi rahmat Allah, kasih sayang Allah. Surga itu hanyalah sebagian kecil dari rahmat Allah, kita masuk surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena rahmat Allah.

Amal soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari puasa dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga. Amal soleh sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah.Kata Nabi Shalallahu Alaihi Wa sallam , “Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke surga”. Lalu para sahabat bertanya: “Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ?”. Jawab Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa sallam : “Amal soleh saya pun juga tidak cukup”. Lalu para sahabat kembali bertanya :“Kalau begitu dengan apa kita masuk surga?”. Nabi Shalallahu Alaihi Wa sallam kembali menjawab : “Kita dapat masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan Allah semata”.Jadi sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah. Insya Allah, amiin.