Selasa, 15 Juni 2010

Memang Tidak Untuk Dibawa

Terkadang ummahat memiliki pertanyaan tentang boleh tidaknya membawa anak dalam sebuah acara. Tidak jarang beberapa ikhwah bersepakat untuk melakukan rihlah tanpa membawa istri dan anak-anak mereka. Beberapa undangan mencantumkan permohonan untuk tidak membawa anak di bawah lima tahun. Sapaan akrab semacam, "Anak-anak enggak dibawa, Bu?" atau "Sendiri nih, istri ditinggal?" mungkin kerap terdengar di keseharian kita. Pernah pula seorang pembicara seminar keluarga dengan bersemangat bercerita tentang bagaimana ia dan suaminya berbagi tugas membawa anak dalam acara-acara mereka.

Sebaliknya, kita jarang mendengar pertanyaan tentang boleh tidaknya mengajak anak; sejarang itu pula kita menyepakati untuk tidak melibatkan suami atau istri kita dalam sebuah acara. Undangan yang menyebutkan permohonan untuk tidak mengajak anak di bawah usia 5 tahun juga langka dalam keseharian kita. Sapaan-sapaan yang menggunakan kata’ajak’ masih lebih jarang terdengar daripada sapaan yang menggunakan ‘bawa’ atau ‘membawa’.

Fenomena di atas bisa saja kita tatap sekadar sebagai sebuah diksi. Tetapi, bisa pula kita tatap sebagai sebuah ekspresi dari sebuah perlakuan. Kata ‘bawa’ atau ‘membawa’ membutuhkan objek yang berbeda dengan kata ‘ajak’ atau mengajak’. Untuk objek barang atau binatang, mungkin, kata ‘bawa’ atau ‘membawa’ cukup memadai. Berbeda halnya jika objek tersebut adalah istri atau suami, anak dan kawan atau saudara, kata ‘ajak’ atau ‘mengajak’ tampaknya lebih tepat, lebih santun, dan lebih menghargai.

Dengan sedikit mempertimbangkan pemilihan kata maka pertanyaan serasa lebih menghargai jika menjadi, "Boleh mengajak suami, Bu?" Kesepakatan para ikhwah menjadi lebih santun dengan sebuah kesepakatan untuk tidak mengajak istri dan anak-anak. Catatan tambahan sebuah undangan serasa lebih enak dibaca dengan mengubahnya menjadi permohonan untuk tidak mengajak anak di bawah usia 5 tahun. Sapaan-sapaan kita tetap akrab atau bahkan menjadi lebih akrab dengan mengubah ‘bawa’ dengan ‘ajak’ untuk istri, suami, atau anak-anak.

Istri atau suami kita memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, istri atau suami dan anak-anak adalah mad’u bagi para dai di jalan Allah. Jika Hasan Al-Banna secara umum menyebutkan bahwa dakwah di jalan Allah memerlukan tiga pilar, yaitu pemahaman, keimanan, dan kecintaan. Maka berdakwah kepada istri/suami dan anak-anak juga memerlukan ketiga pilar tersebut. Maksud dari pilar kecintaan adalah sebuah perasaan cinta yang kuat terhadap dakwah dan terhadap sesama pendukung dakwah. Perasaan cinta ini juga dituntut dalam dakwah keluarga ini.

Di sisi yang lain, mungkin istri kita juga seorang daiyah yang memiliki sekian taklim, sekian liqa’, dan menjadi pembicara yang laris. Sebagaimana halnya dengan suami para daiyah tersebut. Mereka adalah para dai yang memiliki amanah dakwah yang besar.

Oleh karena itu, keluarga dai adalah tempat bertemunya dua juru nasihat, dua pemberi peringatan, dua orang yang senantiasa optimis dalam hidupnya, dua pembaru, dua aktivis, dua ustadz, dua pejuang, dua pemimpin umat, dan dua lain-lainnya.

Keluarga dai memang harus dinamis. Di dalam keluarga itu harus ada nasihat untuk juru nasihat; harus ada peringatan untuk pihak yang terbiasa memberikan peringatan; harus ada penumbuhan optimisme kepada orang yang tampak selalu optimis; harus ada perlindungan kepada orang-orang yang terbiasa berada di bagian terdepan di medan pertempuran; harus ada pembaruan kepada para pembaru; harus ada tatsqif kepada dua ustadz secara timbal balik; harus ada penumbuhan semangat di dalamnya. Hanya dengan itu, keluarga dai menjadi dinamis.

Didorong oleh tuntutan adanya timbal balik dakwah dalam keluarga dai maka meletakkan suami atau istri di pihak yang lain sebagai manusia dewasa adalah sebuah prinsip. Menggunakan kata ‘ajak’ sebagai ganti kata ‘bawa’ adalah sebuah hal yang layak untuk dipertimbangkan. Manusia dewasa adalah pihak yang yang patut dihormati dan dihargai. Dengan menghormatinya, suami atau istri dan mungkin anak-anak akan terpacu untuk berpikir dan mengemukakan pendapatnya. Dengan menghargainya, ia akan terhindar dari kematian semangat dan gairah hidup. Dinamis atau tidaknya keluarga dai ditentukan oleh peran serta take and give di antara istri dan suami serta anakanak. Istri aktif memberi dan menerima, demikian pula dengan suami terhadap istrinya.

Akhirnya, memberi dan menerima memang bukan urusan membawa atau dibawa, tetapi lebih kepada persoalan mengajak atau diajak. Sudahkah Anda tarbiyah? Sudahkah Anda tarbiyah adalah sudahkah Anda menghargai pasangan Anda? Sudahkah tarbiyah adalah sudahkah Anda mengajak pasangan dan keluarga Anda? Wallahua’lam.


~ Sang Pengagum Pena ~

Prasangka memang hanya lintasan hati. Karenanya, berprasangka sebenarnya manusiawi. Tak ada orang yang mampu meredam atau menahan yang namanya lintasan hati. Tak ada orang yang tak pernah memiliki prasangka buruk terhadap orang lain. Tak seorang pun bisa menghilangkan sama sekali lintasan hatinya. Itu sebabnya, para sahabat mengajukan keberatannya kepada Rasulullah saat turun ayat "Dan bila engkau menampakkan apa yang ada dalam hatimu, atau engkau menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu." (QS. Al-Baqarah : 284) Para sahabat yakin tak mampu menghalangi lintasan hatinya, jika itu termasuk dalam hitungan amal mereka. Akhirnya Allah menurunkan ayat selanjutnya, "Allah tidak akan memberikan beban kepada seseorang kecuali sebatas kemampuannya."

Imam Ghazali mengurai penjelasan buruk sangka dalam satu sub tema tentang ghibah, membicarakan keburukan orang lain. Menurutnya, buruk sangka tak lain adalah ghibah bathiniyah (membicarakan keburukan orang dengan hati). "Sebagaimana Anda diharamkan untuk menyebut keburukan-keburukan orang lain, maka demikian pula Anda diharamkan untuk berburuk sangka pada saudara Anda," begitulah kata Imam Ghazali.

Apa yang harus dilakukan agar bisa menghindari bahaya buruk sangka?

Pertama, tumbuhkan empati kepada orang yang menjadi objek buruk sangka. Rasakanlah bila objek buruk sangka itu adalah diri Anda sendiri yang sangat mungkin mengalami banyak kekurangan. Tips ini sama dengan apa yang dianjurkan oleh Imam Ghazali, ketika ia membahas masalah ghibah. Untuk menghindari ghibah, menurut Imam Ghazali, salah satunya dengan merasakan bagaimana bila yang menjadi objek pembicaraan itu adalah diri sendiri. Bila kita senang mendengarnya, maka teruskanlah bicara. Tapi bila tidak, maka jauhilah pembicaraan negatif itu. Sama dengan kondisi ghibah dalam hati, cara menghindarinya bisa dengan membandingkan kondisi kita dengan kondisi orang yang menjadi objek prasangka.

Kedua, teliti dari mana sumber perasaan negatif, atau buruk sangka itu muncul. Bila ia datang dari informasi seseorang, langkah yang paling baik adalah melakukan pertanyaan lebih detail tentang asal usul berita miring itu. Apakah nara sumber berita itu benar-benar telah mengetahui secara autentik tentang kejadian yang memunculkan prasangka itu? Atau bisa juga ditanyakan langsung kepada yang bersangkutan tentang benar tidak-nya berita negatif tersebut. Bila Anda merasakan bahwa informasi itu belum tentu benar, berupayalah menghapuskan memori informasi itu dari pikiran Anda.

Ada riwayat hadits menarik yang disampaikan oleh Imam Ahmad dengan sanad shahih. Suatu ketika ada seorang lelaki melewati suatu kaum yang sedang berada dalam sebuah majlis. Orang laki-laki itu mengucapkan salam, mereka pun menjawab salam orang tersebut. Tapi tak berapa jauh orang itu pergi, salah seorang dalam majlis itu berkata, "Sesunguhnya aku membenci orang itu karena Allah." Orang yang mendengar perkataan itu terkejut dan mengatakan, "Buruk sekali apa yang engkau ucapkan. Demi Allah akan aku adukan hal ini pada Rasulullah."

Orang yang telah lewat itu kemudian dipertemukan oleh Rasulufah dengan orang yang memiliki prasangka buruk itu. "Mengapa kamu membencinya?" tanya Rasul. "Aku tetangganya, dan mengenalnya. Demi Allah aku tidak pernah melihatnya melakukan shalat kecuali yang diwajibkan," katanya. Orang itu berkata, "Tanyalah wahai Rasulullah, apakah ia pernah melihatku mengakhirkan sholat di luar waktunya atau aku pernah salah berwudhu, ruku’ atau sujud?" Orang yang berprasangka buruk itu mengatakan, "Tidak." Kemudian ia mengatakan, "Demi Allah aku tidak pernah melihatnya berpuasa sebulan kecuali pada bulan yang dipuasai oleh orang baik dan durhaka." Orang yang dituduh itu mengatakan, "Tanyakan wahai Rasulullah, apakah dia pernah melihatku tidak puasa pada bulan Ramadhan, atau aku mengurangi haknya?" Orang itupun menjawab, "Tidak."

Tapi ia masih menambahkan lagi alasan kebenciannya. "Demi Allah aku belum pernah melihatnya memberi orang yang meminta minta atau orang miskin sama sekali, aku juga tidak pernah melihatnya menginfakkan sesuatu di jalan Allah kecuali zakat yang juga dilakukan oleh orang yang baik dan durhaka," katanya. Orang yang dituduh itu mengatakan, "Tanyakan padanya ya Rasulullah, apakah dia pernah melihatku mengurangi zakat atau aku pernah menzalimi pemungut zakat yang memintanya?" Orang itu menjawab, "Tidak." Akhirnya Rasulullah berkata pada orang yang melontarkan kebencian tanpa alasan yang jelas itu. "Pergilah, barangkali dia lebih baik dari pada dirimu," ujar Rasulullah.

Ketiga, bila sumber informasi itu muncul dari dalam hati sendiri tanpa sebab-sebab yang jelas, kecuali sekadar penampilan lahir atau kecurigaan belaka. Beristigfar, dan mohon ampunlah pada Allah swt atas kekeliruan lintasan hati negatif itu. "Seseorang tidak boleh meyakini keburukan orang lain kecuali bila telah nyata dan tidak dapat diartikan dengan hal lain kecuali hanya dengan keburukan," begitu nasihat Imam Al-Ghazali.

Beliau mencontohkan, jika seseorang mencium bau minuman khamar dari mulut seseorang, ia masih belum boleh memastikan bahwa ia telah minum khamar, karena masih ada kemungkinan untuk dikatakan bahwa dia berkumur-kumur saja dan tidak meminumnya, atau mungkin dia dipaksa meminumnya.

Menurut Imam Ghazali, sesuatu yang tidak disaksikan dengan mata kepala dan tidak didengar dengan telinga sendiri, tapi muncul di dalam hati, maka itu tidak lain merupakan bisikan setan yang harus ditolak, karena syetan adalah makhluk yang fasik. Allah swt berfirman, "Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya." (QS.Al-Hujurat:6)

Keempat, sadarilah bahwa lahiriyah seseorang tidak selalu identik dengan batinnya. Islam sama sekali tak mengajarkan penilaian seseorang dari aspek lahirnya. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk tubuh kalian, tapi melihat pada hati kalian." Dalam hadits shahih yang lain disebutkan pula bagaimana Rasulullah menggambarkan bahwa kondisi orang yang secara lahiriyah kurang baik, berdebu, rambutnya kumal, dan banyak dipandang hina oleh seseorang, tapi orang tersebut adalah orang yang paling didengar doanya oleh Allah swt. Sebaliknya, orang yang bersih, dan menarik penampilan lahiriyahnya, ternyata orang itulah yang memiliki penilaian tidak baik di mata Allah swt.

Naif sekali, merasa curiga dan berburuk sangka karena alasan lahir. Allah swt bahkan menjelaskan bahwa di antara orang munafik biasanya memiliki penampilan yang memukau. "Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum." (QS. Al-Munafiqun : 4)

Kelima, terimalah fakta bahwa setiap orang pasti pernah lepas kontrol sesekali. Tidak perlu mengembangkan perasaan dan dugaan terlalu besar dengan suatu kesalahan yang dilakukan seseorang. Kesalahan itu adalah hal lumrah bagi manusia. Karenanya, coba arahkan perhatian itu pada diri sendiri, bukan pada orang lain. Terlalu besar memperhatikan kesalahan orang lain, merupakan salah satu sebab seseorang menjadi mudah mencurigai dan berburuk sangka. Ingatlah prinsip yang diajarkan Rasulullah saw, Berbahagialah orang yang disibukkan oleh aib dan kesalahan dirinya, ketimbang sibuk oleh aib dan kesalahan orang lain.

Keenam, salah satu pemicu buruk sangka adalah rasa was-was atau bayangan ketakutan yang akan kita terima akibat pihak tertentu. Untuk mengatasinya, tumbuhkan keyakinan kuat bahwa Allah swt Maha Mengetahui dan Maha Kuasa atas seluruh gerak gerik hambanya. Apa saja yang terjadi merupakan kehendak dan kekuasaan Allah swt. Keyakinan ini akan memunculkan kepasrahan dan ketenangan, serta tidak mudah membayangkan resiko pahit yang belum tentu benarnya. Keyakinan ini juga yang akan mengusir perasaan was-was dan bayangan menakutkan yang tak jelas ujung pangkalnya.

Ketujuh, untuk mematahkan gangguan syetan, terapi yang paling penting adalah dengan dzikir kepada Allah dan berusaha memperbanyak amal-amal ketaatan. Keduanya akan sangat menciptakan suasana hati yang hidup, bersih dan jernih. Hal ini lebih jauh akan menumbuhkan kualitas iman yang semakin tidak mudah bagi syetan untuk bersemayam di dalam hati. Di sinilah, seseorang akan mendapat cahaya Allah swt sehingga pandangannya akan mengarah pada firasat yang benar. Takutlah dari firasat seorang mu’min karena ia melihat dengan Nur Allah. (HR. Turmudzi)

Kedelapan, mintakan ampun kepada orang yang menjadi objek prasangka tanpa alasan yang jelas. Itu salah satu kafarat ghibah yang disebutkan oleh Imam Ghazali rahimahullah. Menurutnya, doa tersebut dapat menjengkelkan syetan sehingga syetan tidak bisa memasukkan lintasan negatif atas seseorang. Prasangka, menurutnya sama dengan ghibah dalam hati. Maka, tebusannya antara lain dengan memohon ampunan kepada Allah atas saudara yang dicurigai itu.


~ Sang Pengagum Pena ~

Kehidupan Malam

Dunia malam bagai pisau bermata dua. Dunia yang satu ini memiliki kekuatan dan beribu misteri. Pertarungan kebaikan dan kesesatan, haq dan bathil sepanjang siang hari sangatlah dahsyat. Pertarungan yang membutuhkan energi yang tidak sedikit. Masing-masing pembela kebenaran dan kesesatan menumpahkan segala daya kemampuan yang dimilikinya.

Ternyata malam lah yang menjadi pusat penghasil energi dan pengumpulnya. Kedua kekuatan yang bertolak belakang hingga hari akhir itu, masing-masing menggunakan jeda malam untuk mengumpulkan tenaga. Untuk bertarung meraih pendukung di esok hari.

Tentu kita ingin meniru dunia malam orang-orang sholeh. Karena kita ingin sholeh dan baik seperti mereka. Kita ingin merenda malam kita yang banyak terkoyak oleh aktifitas yang tidak berguna atau bahkan membahayakan. Padahal malam adalah ghonimah cuma-cuma yang disediakan untuk kita. Kita ingin merasakan hakekat kenikmatan dunia yang maya ini sebagaimana mereka telah merasakan kenikmatan itu.

Tetapi tidak mudah. Sudah sekian lama malam kita datang dan kemudian berlalu. Datang menawarkan intan dan mutiara, tidak lama kemudian pergi dengan kecewa karena kita tidak peduli. Inilah bagian dari resep mereka yang telah berhasil menghiasi malam-malam yang indah itu. Agar ringan mata ini terjaga, kaki ini berdiri sholat, dan kepala ini sujud dihadapan keagungan-Nya.



1. Dawud Ath-Tho’i, "Aku ingin sekali dianugerahi kebaikan di waktu malam,”

Tekad. Itulah makna di balik kata Dawu Ath-Tho’i ini. Selanjutnya ia berkata, “Tidak ada yang lebih aku iri dari seseorang, kecuali ketika dia bisa sholat malam.” Kebaikan apa pun tidak akan sampai kepada kita tanpa tekad yang kuat. Manakah mutiara di dasar lautan dapat diraih tanpa ada tekad baja untuk menyelami dalamnya lautan. Karena kebaikan ini terjal. Karena kebaikan ini sulit. Kawasan terjal dan sulit tidak akan dilalui oleh mereka yang hidup tanpa tekad untuk melaluinya.

Nyala tekad di hati kita harus terus dipompa. Agar sinarnya benar-benar bisa membukakan mata kita yang sedang asyik terpejam. Menguatkan kaki kita untuk melangkah menuju tempat berdua dengan pencipta kita. Apalagi, ini malam hari. Tanpa tekad, malam yang dingin ini lebih nikmat jika kita habiskan di bawah selimut tebal. Lebih segar jika mata kita manjakan sampai esok fajar pagi menyapa.

Membangun tekad seperti membangun sebuah pondasi bangunan. Bangunan tekad ini haruslah tertancap kuat di dasar hati kita. Karena dia akan bisa usang karena waktu. Dan bisa goyah karena terpaan tornado musibah.

Tekad ini bisa kita tumbuhkan dengan kembali mengingat mahalnya detik-detik yang disediakan Allah. Betapa banyak janji-Nya untuk yang berhasil menghidupkan malamnya dengan ibadah. Mulai janji ampunan, do’a yang cepat terkabul, ruang ketenangan jiwa kita yang lelah oleh dunia, hingga surga yang siap menanti dengan segala kenikmatannya. Setiap detiknya sangat berharga. Detik-detik yang berbeda sama sekali dengan detik di siang hari.

Menumbuhkan tekad bisa juga dengan cara mencermati deretan nama besar dalam sejarah Islam. Karena ternyata kebesaran mereka tidak mungkin dilepaskan dari aktifitas malam. Qiyam, tilawah, menangisi dosa, mengingat akhirat, dan do’a-do’a panjang. Itulah yang membuat mereka kemudian besar, selamanya terukir dalam sejarah gemilang.

Nuruddin Mahmud Zanki adalah nama besar yang dikenang dalam perang salib. Dia berhasil meruntuhkan kesombongan pasukan salib. Kemenangan demi kemenangan dia raih, Hingga perbincangan antar pasukan salib terjadi. Mereka berkata, “Kemenangan Nuruddin Zanki bukan karena jumlah pasukannya yang lebih banyak. Tapi mempunyai rahasia bersama Tuhan. Dia menang karena do’a dan sholat malamnya. Dia sholat malam dan mengangkat tangannya untuk berdo’a dan Tuhannya mengabulkan permohonannya."

Inilah yang diistilahkan oleh Ibnu Katsir tentang dirinya, “Dia itu kecanduan sholat malam, puasa banyak, berjihad dengan akidah yang benar.”

Pantaslah kalau masjid Aqsho bisa diraih kembali. Itulah pemimpinnya, dan inilah panglimanya, Sholahuddin Al-Ayyubi. “Dia selalu menjaga sholatnya dalam jamaah. Selalu menjaga sholat sunah dan jika malam tiba dia sholat malam. Dia juga sangat senang mendengarkan Al Qur’an, lembut hatinya deras air matanya. Jika mendengar Al Qur’an hatinya khusyuk dan matanya menangis sepanjang hari-harinya," jelas Qodhi Bahauddin yang hidup sejaman dengan Sholahuddin.

Satu lagi kisah penaklukan Konstantinopel di tangan pemberani Sultan Muhammad Al Fatih. Sehari sebelum penaklukan, dia menganjurkan pasukannya untuk berpuasa. Dan pada malam harinya, dia sholat malam dan berdo’a bersama tentaranya.

Semoga dengan membaca kisah-kisah mereka, ada gerak tekad yang terus mendesak maju. Karena kebesaran mereka tergantung seberapa hidup malam mereka.



2. Rasulullah, " Sedikitkan makan, karena orang yang paling kenyang di dunia akan menjadi orang paling lapar di akhirat."

Tidak banyak makan. Itulah salah satu resep sederhana yang dianjurkan oleh Rasulullah. Paling kenyang di dunia paling lapar di akhirat? Ya, mungkin inilah yang ingin dijelaskan oleh Imam Ghozali dalam pernyataannya, “Janganlah banyak makan karena kalian akan banyak minum dan menyebabkan banyak tidur, akhirnya, kalian banyak menyesal.”

Menyesal telah melewatkan saat-saat penting untuk meraih kesuksesan. Menyesal karena telah kehilangan banyak pahala. Menyesal karena di akhirat sangat membutuhkan amal yang banyak untuk menjalani kehidupan yang tiada titiknya. Sementara ladang kebaikan di malam hari telah banyak kita lewatkan.

Banyak makan akan membebani perut. Tentunya ini akan menjadi beban yang cukup berat buat mata dan fisik kita. Makan adalah aktifitas yang banyak menuntut tidur setelah itu. Banyak makan juga membuat konsentrasi otak tertuju hanya kepada perut. Jadilah kita seperti yang dikatakan oleh Bakar bin Khunais, “Orang yang sedikit makan menjadi lebih paham terhadap nasehat dan hatinya lebih cepat menuju kelembutan. Sementara banyak makan akan banyak menghilangkan kebaikan.”

Sedikit makan adalah kebiasaan baik yang sudah menjadi tradisi orang-orang sholeh sejak dulu. Sejak jaman Bani Israil bahkan. Seperti yang diceritakan oleh Aun bin Abdillah, "Dulu pemimpin Bani Israil berkata saat mereka sedang berbuka puasa, ‘Jangan makan banyak, karena jika kalian makan banyak kalian akan tidur banyak. Jika kalian banyak tidur akan sedikit sholat.’"

Walaupun dalam sejarah disebutkan bahwa ada sebagian orang besar yang makan banyak tetapi tetap sholat malam. Sufyan Tsauri lah orangnya. Tentang penggabungan dua hal yang bertolak belakang itu Syekh Abdul Qodir Jailani berkata, “Jangan meniru Sufyan dalam masalah banyak makan. Tetapi tirulah dalam banyaknya ibadah. Karena kamu bukan Sufyan. Janganlah kamu terlalu kenyang seperti Sufyan, karena kamu tidak mampu menguasai dirimu seperti halnya Sufyan menguasai dirinya."

Dan Sufyan sendirilah yang berkata, “Sedikitkanlah makanmu, akan kalian dapat qiyamullail.” Kalau kita bisa seperti Sufyan, tentu tidak ada larangan. Tetapi jika tidak, jadilah seperti yang dikatakan oleh Syekh Abdul Qodir Jailani.



3. Ayah Muawiyah bin Qorroh, “Wahai anakku, tidurlah semoga Allah memberimu kebaikan di malam hari."

Tidur yang benar. Sesuai dengan sunnah Rasulullah. Ajaran Rasullah tentang tata cara tidur bukan saja mendatangkan pahala sebagai amalan sunah, tetapi juga mendatangkan kebaikan berupa mudahnya bangun malam.

Apa yang dikatakan Muawiyah bin Qorroh menceritakan kebiasaan ayahnya yang selalu berkata kepada anak-anaknya bahwa selepas sholat Isya merupakan salah satu tuntunan tidur ala Nabi. Di mana sang ayah melarang anaknya untuk asyik bercengkerama dan menghabiskan malam, hanya dengan berbincang hal yang tidak penting dan tidak bermanfaat.

Setiap kita membutuhkan tidur dalam rentang waktu tertentu. Ketika kurang, tentu rasa kantuk tidak akan beranjak dari mata kita. Apalagi kalau tekad untuk bangun malam hanya setengah-setengah atau tidak ada sama sekali.

Bisa jadi ayah Muawiyah bin Qorroh meniru apa yang diajarkan Aisyah kepada keponakannya, Urwah. Suatu malam dia menginap di ruangan yang tidak jauh dari rumah Aisyah. Malam itu ia asyik berbincang dengan teman-temannya. Aisyah pun menegurnya, “Wahai Urwah, perbincangan apa ini? Aku tidak melihat Nabi tidur sebelum Isya dan ngobrol setelahnya. Kalau beliau tidak tidur sehingga bisa beristirahat, maka beliau sholat untuk mendapatkan banyak keberuntungan."

Dalam kesempatan yang lain Aisyah menegurnya dengan redaksi yang lebih mengena, “Hai keponakanku, istirahatkan pencatat amal-mu. Tidak ada obrolan malam kecuali untuk musafir, orang yang tahajud dan pengantin.”

Ya, biarlah malaikat pencatat amal kita istirahat. Bukan karena mereka lelah mencatat. Tetapi kita yang akan kelelahan untuk menanggung catatan itu. Bicara tidak ada maknanya hanya membuang waktu dan berpeluangnya lidah terpeleset, sehingga catatan dosa kita bertambah lagi.

Nabi adalah orang yang hampir tidak pernah lewat malamnya begitu saja. Beliau tentu tahu bagaimana caranya agar selalu mudah bangun malam hari untuk beribadah. Ajaran Nabi seperti tidur miring ke kanan, berwudhu dan berdo’a sebelum tidur bukan saja memiliki kelebihan secara medis, tetapi juga memudahkan kita untuk bangun malam. Untuk menabung pahala dan hidup di dunia ini lebih bahagia dan bermakna.



4. Abu Utsman, “Abu Hurairah bergiliran dengan istri dan pembantu untuk saling membangunkan.”

Mencari lingkungan yang mendukung. Lingkungan bisa sangat menentukan. Bisa jadi kita yang dulu berada di lingkungan yang lebih agamis, sering melakukan sholat malam, puasa sunah, tilawah dan ibadah lainnya yang kala itu terasa begitu nikmat. Dan kini semuanya telah pudar atau hilang sama sekali, setelah kita berpindah tempat, Tinggal di tempat yang tidak lagi seindah dulu.

Inilah cerita lengkap Abu Utsman tentang keluarga Abu Hurairah, "Aku bertamu di rumah Abu Hurairah selama tujuh hari. Dan aku lihat dia, istri dan pembantunya membagi malam menjadi tiga. Setelah yang satu selesai sholat membangunkan yang kedua dan seterusnya."

Itu juga yang dilakukan oleh istri penguasa ketika itu, Nuruddin Zanki. Selain dia, istrinya Khotun binti Atabik juga seseorang yang rajin sholat malam. Pasangan sholeh yang layak membawa negeri menjadi adil dan damai.

Pagi itu Khotun tampak murung. Nuruddin menanyakan sebabnya. Ternyata masalahnya adalah karena dia tidak bangun semalarn dan kehilangan pernik-pernik indahnya malam bersama Tuhannya. Setelah itu, Nuruddin mengangkat seorang pegawai istana khusus untuk memukul genderang buat membangunkan sholat malam. Nuruddin memberi pegawai tersebut gaji yang tinggi.

Hari ini, jaman sudah semakin canggih. Segala sarana yang kita gunakan untuk bangun malam sangatlah banyak dan tersedia mudah. Kita tidak perlu lagi membayar orang khusus dengan gaji tinggi untuk membangunkan kita di malam hari, seperti yang dilakukan sang sultan. Kita hanya butuh tekad kuat dan memanfaatkan peralatan canggih untuk membangunkan kita. Sekali lagi, kita hanya butuh tekad.

Namun bisa jadi kita masih merasa keberatan untuk bangun, walau jam telah berdering sekian kali. Maka, mencari lingkungan yang sholeh adalah penting. Lingkungan itu bisa teman, istri, suami atau keluarga lainnya, yang gemar melakukan sholat malam. Dengan hidup bersama mereka, berada di lingkungan yang baik dan mendukung, kita akan terkena imbas membiasakan diri sholat malam. Kita akan menyadari nikmatnya hari-hari sunyi di malam hari jika diisi taqarrub pada Allah.



5. Hasan Al Basri, “Kamu diikat oleh dosamu.”

Mata kita dikatupkan oleh dosa-dosa kita, begitu kira-kira pesan yang ingin diajarkan oleh Imam Hasan kepada kita. Nasehat beliau ini untuk seseorang yang datang padanya dan mengeluhkan tentang dirinya yang sulit bangun malam. "Wahai Hasan Basri, aku mencintai sholat malam dan aku selalu tidur dalam keadaan suci, tetapi mengapa aku tidak bisa juga bangun?" Singkat Imam Hasan menjawab, "Kamu diikat oleh dosamu.”

Dosa di siang hari, membuat kita susah untuk membuka mata, inilah pengalaman pribadi Sufyan Tsauri, “Aku pernah tidak bisa sholat malam selama lima bulan karena satu dosa yang aku lakukan." Temannya bertanya, "Dosa apa itu?” “Aku melihat seseorang menangis dan dalam hati aku berkata, ‘Orang itu menangis hanya untuk dipuji saja,’” jelas Sufyan.

Subhanallah, mereka yang sedikit dosanya, tahu dari mana datangnya musibah itu. Tetapi kita yang masih bergumul dengan dosa tidak tahu mengapa sholat malam terasa begitu berat.

Allah ridho kepada orang sang tidak bermaksiat pada-Nya di siang hari. Sehingga dia diberikan kesempatan untuk menyambut kehadiran-Nya di langit dunia di malam hari. Saat yang setiap detiknya tidak mungkin dihargai sekedar dengan dunia dan seisinya. Sangat berharga.

Inilah yang ingin dikatakan oleh Ibrahim bin Adham kepada seseorang yang meminta resep agar bisa sholat malam, “Jangan, bermaksiat kepada-Nya di siang hari, niscava Dia akan membangunkanmu di malam hari. Karena kehadiranmu di hadapan-Nya adalah merupakan kemuliaan. Dan orang yang bermaksiat tidak layak mendapatkan kemuliaan itu.”

Ya, itulah bagian dari resep orang-orang besar dalam sejarah manusia dan di sisi Allah. Kekuatan mereka di siang hari untuk mengukir prestasi benar-benar tergantung seberapa hidup malam-malam mereka dengan ibadah.

Semoga pengalaman mereka menjadi bekal kekuatan kita untuk merenda malam yang masih koyak-koyak.




~ Sang Pengagum Pena ~

Antara Qalbun dan 'Ain

”Mata adalah panglima hati. Hampir semua perasaan dan perilaku awalnya dipicu oleh pandangan mata. Bila dibiarkan mata memandang yang dibenci dan dilarang, maka pemiliknya berada di tepi jurang bahaya. Meskipun ia tidak sungguh-sungguh jatuh ke dalam jurang". Demikian potongan nasihat Imam Ghazali rahimahullah dalam kitab Ihya Ulumuddin.

Beliau memberi wasiat agar tidak menganggap ringan masalah pandangan. Ia juga mengutip bunyi sebuah sya’ir, "Semua peristiwa besar awalnya adalah mata. Lihatlah api besar yang awalnya berasal dari percikan api."

Hampir sama dengan bunyi sya’ir tersebut, sebagian salafushalih mengatakan, "Banyak makanan haram yang bisa menghalangi orang melakukan shalat tahajjud di malam hari. Banyak juga pandangan kepada yang haram sampai menghalanginya dari membaca Kitabullah."



Saudaraku,
Semoga Allah memberi naungan barakahNya kepada kita semua. Fitnah dan ujian tak pernah berhenti. Sangat mungkin, kita kerap mendengar bahkan mengkaji masalah mata. Tapi belum tentu kita termasuk dalam kelompok orang yang bisa memelihara pandangan mata. Padahal, seperti diungkapkan oleh Imam Ghazali tadi, orang yang keliru menggunakan pandangan, berarti ia terancam bahaya besar karena mata adalah pintu paling luas yang bisa memberi banyak pengaruh pada hati.

Menurut Imam Ibnul Qayyim, mata adalah penuntun, sementara hati adalah pendorong dan pengikut. Yang pertama, mata, memiliki kenikmatan pandangan. Sedang yang kedua, hati, memiliki kenikmatan pencapaian. "Dalam dunia nafsu keduanya adalah sekutu yang mesra. Jika terpuruk dalam kesulitan, maka masing-masing akan saling mecela dan mencerai," jelas Ibnul Qayyim. Pemenuhan hasrat pencapaian seringkali menjadi dasar motivasi yang menggebu-gebu untuk mendapatkan atau menikahi seseorang. Padahal siap nikah dan siap jadi suami/istri adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama, nuansa nafsu lebih dominan; sedangkan yang kedua, sarat dengan nuansa amanah, tanggung-jawab dan kematangan.

Saudaraku,
Simak juga dialog imajiner yang beliau tulis dalam kitab Raudhatul Muhibbin: "Kata hati kepada mata, "kaulah yang telah menyeretku pada kebinasaan dan mengakibatkan penyesalan karena aku mengikutimu beberapa saat saja. Kau lemparkan kerlingan matamu ke taman dan kebun yang tak sehat. Kau salahi firman Allah, "Hendaklah mereka menahan pandangannya". Kau salahi sabda Rasulullah saw, "Memandang wanita adalah panah beracun dari berbagai macam panah iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut pada Allah, maka Allah akan memberi balasan iman padanya, yang akan didapati kelezatan dalam hatinya." (HR.Ahmad)

Tapi mata berkata kepada hati, "Kau zalimi aku sejak awal hingga akhir. Kau kukuhkan dosaku lahir dan batin. Padahal aku hanyalah utusanmu yang selalu taat dan mengikuti jalan yang engkau tunjukkan. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya dalam tubuh itu ada segumpal darah. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik pula. Dan jika ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati " (HR. Bukhari dan Muslim). Hati adalah raja. Dan seluruh tubuh adalah pasukannya. Jika rajanya baik maka baik pula pasukannya. Jika rajanya buruk, buruk pula pasukannya. Wahai hati, jika engkau dianugerahi pandangan, tentu engkau tahu bahwa rusaknya pengikutmu adalah karena kerusakan dirimu, dan kebaikan mereka adalah kebaikanmu . Sumber bencana yang menimpamu adalah karena engkau tidak memiliki cinta pada Allah, tidak suka dzikir kepada-Nya, tidak menyukai firman, asma dan sifat-sifatNya. Allah berfirman, "Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada". (QS.AI-Hajj:46)

Saudaraku,
Banyak sekali kenikmatan yang menjadi buah memelihara mata. Coba perhatikan tingkat-tingkat manfaat yang diuraikan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Al-Jawabul Kafi Liman Saala Anid Dawa’i Syafi. "Memelihara pandangan mata, menjamin kebahagiaan seorang hamba di dunia dan akhirat. Memelihara pandangan, memberi nuansa kedekatan seorang hamba kepada Allah, menahan pandangan juga bisa menguatkan hati dan membuat seseorang lebih merasa bahagia, menahan pandangan juga akan menghalangi pintu masuk syaithan ke dalam hati.

Mengosongkan hati untuk berpikir pada sesuatu yang bermanfaat, Allah akan meliputinya dengan cahaya. Itu sebabnya, setelah firmanNya tentang perintah untuk mengendalikan pandangan mata dari yang haram, Allah segera menyambungnya dengan ayat tentang "nur", cahaya. (Al-Jawabul Kafi, 215-217)

Saudaraku,
Perilaku mata dan hati adalah sikap tersembunyi yang sulit diketahui oleh orang lain, kedipan mata apalagi kecenderungan hati, merupakan rahasia diri yang tak diketahui oleh siapapun, kecuali Allah swt, "Dia (Allah) mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati ". (QS. Al-mukmin:l9). Itu artinya, memelihara pandangan mata yang akan menuntun suasana hati, sangat tergantung dengan tingkat keimanan dan kesadaran penuh akan ilmuLlah (pengetahuan Allah) . Pemeliharaan mata dan hati, bisa identik dengan tingkat keimanan seseorang.

Saudaraku,
Dalam sebuah hadits dikisahkan, pada hari kiamat ada sekelompok orang yang membawa hasanat (kebaikan) yang sangat banyak . Bahkan Rasul menyebutnya, kebaikan itu bak sebuah gunung. Tapi ternyata, Allah swt tak memandang apa-apa terhadap prestasi kebaikan itu. Allah menjadikan kebaikan itu tak berbobot, seperti debu yang berterbangan. Tak ada artinya. Rasul mengatakan, bahwa kondisi seperi itu adalah karena mereka adalah kelompok manusia yang melakukan kebaikan ketika berada bersama manusia yang lain. Tapi tatkala dalam keadaan sendiri dan tak ada manusia lain yang melihatnya, ia melanggar larangan-larangan Allah (HR. Ibnu Majah)

Kesendirian, kesepian, kala tak ada orang yang melihat perbuatan salah, adalah ujian yang akan membuktikan kualitas iman. Di sinilah peran mengendalikan mata dan kecondongan hati termasuk dalam situasi kesendirian, karena ia menjadi bagian dari suasana yang tak diketahui oleh orang lain, "Hendaklah engaku menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya yakinilah bahwa Ia melihatmu". Begitu pesan Rasulullah saw. Wallahu’alam.


~ Sang Pengagum Pena ~

Jangan Melangkah Hanya Setengah Hati

Namanya Abu Qais. Berasal dari Bani Waqif, sebuah kampung di Madinah. Ia bahkan kepala suku itu. Tidak ada yang istimewa dari Abu Qais, juga Bani Waqif, kecuali justru ialah satunya-satunya kabilah yang menolak Islam, ketika Mus’ab bin Umair mengubah Yatsrib menjadi kampung Muslim yang terang benderang. Ketika kemudian tidak ada rumah pun kecuali di dalamnya ada muslim atau muslimah.

Bila Abu Qais tak kunjung menerima Islam, itu bukan karena ia tak mengerti. Abu Qais tidak saja kepala suku yang pintar. Ia juga penyair ulung, tokoh yang disegani, dan penganut ‘agama’ hanifiyah, sebuah keyakinan kepada ‘keaslian kemanusiaan’ yang lurus. Keyakinan itu pula bahkan, yang menjadikannya menolak menjadi Yahudi atau Nasrani. Tetapi itu pula yang membuatnya tak segera mau menerima Islam. Di dalam dirinya ada bimbang, juga kehendak setengah hati untuk menerima Islam. Baginya, menjadi orang hanifiyyun dirasa sudah cukup. Ia lantas mengumandangkan beberapa bait syair:



manusia sangat perlu

pada banyak hat yang

kesulitan bisa luluh di sekitarnya

manusia sangat perlu

pada sesuatu yang

bila tersesat is menunjuki ke jalan yang baik

kalaulah tidak karena Tuhan kita, kita telah menjadi Yahudi

kalaulah tidak karena Tuhan kita, kita telah menjadi Nasrani

bersama para rahib di gunung-gunung yang tinggi

tetapi kita dicipta ketika dicipta,

agama kita adalah kemanusiaan yang lurus



Syair ini justru menggambarkan betapa ia tidak bisa begitu saja menerima Islam. Ia merasa cukup dengan apa yang selama ini diyakini. Menjadi orang ‘baik-baik saja’. Sudah begitu, dedengkot kaum munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul terus memengaruhinya untuk tidak menerima Islam. Hingga keraguan semakin memenuhi isi hatinya

Hari-hari terus berlalu. Bahkan ketika kota Makkah ditaklukkan Rasulullah, Abu Qais masih setengah hati untuk mau menerima Islam. Sampai akhirnya, ia berjanji akan masuk Islam tahun depan. Tetapi apa lacur? Satu bulan kemudian, ia meninggal, menemui ajal yang tak pernah ia sangka kapan datangnya.

Ini kisah tentang keputusan setengah hati yang membawa bencana. Bagaimana tidak? Adakah bencana yang lebih bencana, dari mati tidak sebagai muslim? Adakah bencana yang lebih mengerikan, dari menolak cahaya Islam yang Sudah ada di pelupuk mata? Adakah yang lebih bencana, dari ragu menerima ajakan Rasul, padahal orang mulia itu hidup satu jaman, satu masa, dan satu tanah air?

Sebuah keputusan adalah nasib. Ia mengambil perannya pada wilayah ikhtiar kemanusiaan kita. Kita menetapkan, dan karenanya kita meniti kemantapan. Kita berbuat, dan karenanya kita akan menuai hasil. Kita menanam, dan karenanya kita akan memetik.

Pada sebagian besar keputusan kita, ada implikasi yang sangat serius. Implikasi bahagia atau sengsara, pahit atau manis, bahkan, surga atau neraka. Itulah implikasi nasib kita. Terlebih keputusan yang berhubungan dengan puncak segala urusan: iman kepada kebenaran Islam. Sesuatu yang akan menjadi bekal utama seseorang untuk menghadap Allah kelak di hari akhirat.

Karenanya, hidup tidak memberi ruang yang istimewa bagi segala keputusan yang setengah hati. Tidak saja karena ia bisa mengundang bencana, tetapi waktu yang berlalu tak mungkin diputar ke depan. Sebuah keputusan masa lalu yang kini menjadi hitam-putih nasib kita, tak akan bisa memutar ulang versi revisinya.

Juga karena waktu berjalan begitu cepat, ia tak memberi tempat untuk segala keputusan setengah hati kita. Keputusan setengah hati adalah perjalanan yang terhenti karena tertinggal kereta. Keputusan setengah hati adalah bangun dan menguap saat matahari telah meninggi. Terlampau banyak yang telah lewat dan berlalu tanpa kita sadari. Seperti Abu Qais yang begitu saja melewatkan masa-masa terbaik dari seluruh jaman yang ada di bumi. Ia mencoba menunda keislamannya satu tahun mendatang. Ia masih ragu. Sebenarnya, kapasitas intelektualnya sangat memadai untuk mencerna, memahami dan mengerti bahwa apa yang dibawa oleh Rasulullah adalah benar. Tetapi ia hanya melengkapi ’semacam tradisi’ orang-orang pintar, yang selalu setengah hati untuk memutuskan mengambil jalan kebaikan. Justru karena bermain dengan argumentasi ilmiah, atau karena pengaruh lingkungan, pengaruh orang-orang tertentu, atau dengan alasan menjaga gengsi, semuanya menjadikan keputusan untuk meniti jalan yang baik hanya kehendak setengah hati.

Romantika dengan jati diri masa lalu juga memberi andil bagi sebuah keputusan yang setengah hati. Setiap orang punya kebiasaan masa lalunya, yang mungkin sudah mendarah dan mendaging dalam dirinya. Dari soal kebiasaan, etika, bahkan keyakinan, yang bertahun-tahun dijalani, hingga segala sesuatunya telah menginternal dalam cita rasa dan perilaku dirinya.

Seperti Abu Qais yang punya masa lalu sebagai orang hanifiyyun, orang yang tulus dengan ‘madzhab kemanusiaan’. Sebuah pandangan yang sebenarnya terwarnai oleh sisa-sisa peninggalan agama nabi Ibrahim. Tidak mudah baginya untuk mengubah jati dirinya. Padahal menjadi baik secara kemanusiaan saja belum cukup. Harus ada afiliasi ideologis. Harus ada ‘merek agama’ pada segala tindak tanduk setiap orang.

Sebuah kesempatan untuk kita mengubah diri, kadang tidak datang dua kali. Karenanya keputusan setengah hati pada momentum yang sangat istimewa -seperti dalam contoh Abu Qais- itu adalah perjudian dengan kerugian yang sudah pasti. Adalah mengadu nasib dengan kekalahan yang sudah pasti. Tidak saja karena kesempatan tidak selalu datang berulang, juga karena keputusan itu berpacu dengan kematian yang bisa datang kapan saja. Seperti satu tahun menunda menjadi Islam, yang diputuskan Abu Qais, mungkin dianggapnya tidak lama. Tetapi itu sangat terlalu lama untuk sebuah kematian. Karena ternyata, kematian hanya memberi jeda waktu satu bulan, sebuah jangka yang tak pernah ia mengerti.

Apa yang ada di sekitar kita harus menjadi bahan yang memadai untuk membantu kita memutuskan segala kepentingan hidup kita. Terlebih bila dalam urusan agama. Orang yang yakin, tetapi salah, jauh lebih bisa bersikap ketimbang orang-orang yang setengah hati. Sebab orang yang yakin tetapi salah, akan secepatnya belajar, mengevaluasi diri, lalu mencari jalan yang benar, lalu ia jalani yang lebih baik itu juga dengan keyakinan yang kuat. Sementara orang-orang yang hidup dengan setengah hati, hanya akan banyak membuang waktu. Berlari dari kebimbangan yang satu ke kebimbangan yang lain.

Sebuah keputusan adalah nasib. Tidak saja dalam pengertian ideologi, tapi juga untuk banyak urusan hidup duniawi. Setiap kita punya titian hidup yang berbeda. Punya momentum penting yang berbeda. Punya kesempatan emas yang berbeda. Tetapi segalanya bertumpu pada satu hal: keputusan sepenuh hati untuk bertindak, dengan keyakinan yang benar, pada waktu yang tepat, dan dengan perhitungan yang cermat. Ini memang tidak mudah. Tetapi, untuk kepentingan apapun -terlebih untuk meniti jalan hidup keislaman- tidak ada waktu dan tempat untuk sebuah keputusan yang setengah hati. Kita harus mencoba. Karena tak ada pilihan lagi selain itu.


~ Sang Pengagum Pena ~

Sekali Lagi, Indibath

Ada orang yang melihat semut sebagai hewan kecil yang rakus, (hanya) karena sangat aktif mengumpulkan bahan makanan jauh lebih banyak dari panjang usia yang mungkin dijalaninya. Bahwa nama semut menjadi sebutan bagi salah satu dari 114 surat Al-Quran, memang tidak menjadi jaminan mereka tercela atau tidak, berbeda dari semisal Al-Munafiqun dan Al-Kafirun atau nama-nama lain seperti anjing (QS. 7:176), kera dan babi (QS. 5: 60). Tetapi kalau bukan untuk tujuan terpuji, untuk apa nama itu disebut dalam kitab suci, seperti surat An-Naml atau An-Nahl?

Konon bila ada seekor semut berjalan berputar-putar atau zigzag, maka artinya ia memang sedang bertugas mencari bahan makanan bagi kaumnya. Bila menemukan sepotong daging, kembang gula atau makanan lainnya, dijamin ia tak akan menghabiskan atau mengangkutnya sendirian. Ia akan berputar-putar sejenak untuk mengukur dan menghitung berapa pasukan semut yang diperlukan. Pulang ke sarang ia berjalan lurus dengan melepaskan asam semut melalui ekornya yang akan menjadi garis navigasi bagi para pekerja yang akan melaluinya dengan disiplin. Coba-cobalah meletakkan sekeping cokelat atau gula di tepi garis asam semut itu, mereka tetap takkan tergoda. Demikian akurat semut menggunakan intuisinya yang mengajarkan manusia kapan musim hujan dan musim kemarau akan datang, demikian pula disiplin mereka. Mereka tak bersuara, namun bekerja. Menimbun logistik untuk musim yang lebih panjang dari usia mereka, tetapi bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan kepentingan kaum dan bangsa.

Jangan coba-coba menaburkan gula atau kue manis dekat-dekat garis itu, karena pasukan semut takkan terangsang oleh provokasi atau jebakan itu. Ghayah dan ahdaf (tujuan dan sasaran) mereka jelas. Amal jamai mereka kompak. Disiplin mereka tinggi. Entah dari mana datangnya dan bagaimana ia mengintai, seekor semut eksekutor telah siap dengan kepala dan taring yang besar untuk memenggal kepala semut yang terangsang mengambil makanan di luar garis navigasi. Betapa mahalnya harga yang harus dibayar akibat tindakan liar sebagian pasukan artileri yang ditempatkan Rasul SAW di bukit pada perang Uhud itu. Mereka dipesan untuk jangan meninggalkan front tanpa komando, baik pasukan kita kalah atau menang. Tak pernah sepedih itu duka dan gundah yang dirasakan Kanjeng Nabi SAW.

Bila jenis serangga ada yang bersuara, itulah nahl, lebah yang diperintahkan Allah untuk membangun hunian di gunung-gunung, di pohon-pohon dan rumah-rumah manusia (QS. An-Nahl: 68). Mereka disuruh memakan yang baik-baik dan memproduksi yang baik-baik yang sangat berguna bagi kesehatan dan penyembuhan. Mereka berdengung di sarang seperti pasukan mujahid muslim di zaman Rasulullah saw, mendengungkan dzikir di malam hari setelah sepanjang siang dengan penuh semangat dan kesungguhan berjihad membela kebenaran. Mereka tak suka mengganggu siapapun, namun jangan coba-coba melempari sarang lebah, mereka akan datang full team membalas setiap agresor.

Muslim yang tak bersengat bekerja seperti semut, dan yang sudah bersengat berjuang bagaikan lebah. Perumpamaan seorang muslim seperti lebah, tak makan kecuali yang baik dan tak keluar dari perutnya kecuali yang baik.



Mentalitas Rendah

Seorang manusia sejati tidak akan terkesiap hanya oleh kemilau benda-benda, daya tarik alam semesta dan segala hal yang fana, kecuali ia menisbahkan semua itu kepada sang Pencipta. Ia wujud sejati dan Ia yang selalu jadi tujuan. Sementara manusia yang bermental anjing, jika ia setia ia setia kepada sepotong tulang, bukan kepada pemberi tulang. Ia menjilat dan menggonggong dengan suara lengkingan yang jauh lebih nyaring dari tuannya. Jangan tanya komitmen, ia takkan mengerti. Itulah sebabnya tak ada tuah pada pribadi, tutur dan tindakan mereka yang menggadaikan hidup dan ilmunya untuk kepentingan materi sesaat. Mereka tak bisa mengenali dan tak waspada ataupun ngeri apakah rezki yang mereka dapat bersamaan dengan penyelewengan itu menjadi karunia atau istidraj (uluran).

Namun masih ada jenis anjing yang membuat kita ingat akan betapa tinggi nilai ilmu. Bila engkau melepas anjingmu, dengan bismillah, lalu ia membunuh buruannya, lihatlah, apakah ia melukai buruanmu di tempat yang tepat atau mencabik dan memakan daging hewan itu. Yang pertama berburu untuk tuannya, karenanya buruan itu sembelihan yang halal dimakan dan yang kedua berburu untuk dirinya, karenanya buruan itu bangkai yang haram dimakan. Catat hari kelahiran seekor babi jantan, tunggu sampai usianya laik kawin. Lihatlah betapa dengan ringan ia gauli ibunya di depan kesaksian bapak kandungnya yang asyik melahap makanan, termasuk kotorannya sendiri. Jangan tanya hewan itu. Apa bapak tidak cemburu?. Ia takkan buka kamus untuk mencari arti cemburu, karena entri itu memang tak pernah ada dalam kamus mereka atau mereka memang tak punya kamus.



Disiplin, Pahit tetapi Sehat

Syaikh Amin Syinqithy membuktikan betapa Allah memberikan keberkahan bagi umur kita. Ketika murid-muridnya terheran-heran, apa mungkin orang bisa mengkhatamkan Al-Quran dalam sekali shalat malam, ia membuktikannya. Betapa rapi bacaannya. Betapa merdu suaranya. Betapa nikmat shalat bersamanya. Selebihnya, cukup waktu untuk bekerja. Pada ashar hari Kamis di akhir pekan, seorang kader dakwah, seperti dituturkan Imam Hasan Al-Banna, keluar dari bengkel tempat ia bekerja. Malamnya ia sudah memberikan ceramah di sebuah pertemuan beberapa puluh kilometer dari tempatnya. Esok Jumatnya ia berkhutbah dengan bagus di tempat lain yang cukup jauh. Asharnya ia memberikan pengarahan pada sebuah mukhayam (camping) yang diikuti ratusan pemuda dari berbagai penjuru. Lepas isya ia menyampaikan arahan dalam sebuah daurah besar. Ratusan kilometer dalam 30 jam ditempuhnya, suatu perjalanan yang melelahkan. Namun esoknya dengan wajah cerah cemerlang dan hati yang tenang, ia telah tiba di tempat kerjanya lebih cepat, tanpa ribut-ribut mengisahkan kerja besar yang baru diselesaikannya.

Sembilan tahun agresi pasukan musyrikin Quraisy dan yang lainnya ke Madinah telah menyibukkan Rasulullah SAW dengan 27 kali ghazwah (pertempuran yang beliau pimpin langsung) dan 35 kali sariyah (yang dipimpin para sahabat). Serbuan yang bertubi-tubi ini potensial membuat lelah fisik dan mental dan masuk akal bila beliau dan para sahabat memanfaatkan waktu jeda yang rata-rata sebulan atau sebulan setengah untuk berleha-leha. Namun ternyata justeru waktu itu diisi dengan banyak kegiatan, dari mendidik para politisi, panglima perang, hakim, diplomat sampai merangkak dengan anak-anak dipunggungnya atau dalam beberapa riwayat dan momentum berbeda– berpacu jalan dengan keluarga atau beramah-tamah dengan rakyat-jelata. Ia pemimpin besar yang menggetarkan banyak bibir kekaguman. Ia panglima yang akurat dalam memimpin setiap pertempuran. Ia guru yang banyak melahirkan kader handal. Ia suami yang membuat isterinya kebingungan saat ditanya, momen-momen apa yang paling mengesankannya semasa hidup bersamanya? Momen mana yang tidak mengagumkan (Ay-yu amrihi lam yakun ajaba?! jawab Aisyah ummul mu’minin radhiyallahu ‘anha. Wallahu’alam



~ Sang Pengagum Pena ~